Opini  

Pemahaman : Pancasila Masih Ada?

Part 2 – Sebagai sarana pemersatu bangsa,Pancasila dapat dikatakan berhasil. Namun hanya sebatas efektif sebagai kajian kepentingan politis. Bagaimana dengan pemahaman lain, semisal ditinjau sebagai ideologi ekonomi, sosial, dan budaya?

Masih jauh panggang daripada api. Pancasila dipahami sebagai ideologi ekonomi, sosial, dan budaya bisa dibilang masih gagal atau belum terbukti manfaatnya.

Kecenderungan pemahaman Pancasila dari sisi politik dominan menggunakan pendekatan mitos. Ihwal ini bisa ditinjau dari sejarah, 1 Juni 1945 adalah waktu kelahiran Pancasila. Boleh juga 18 Agustus 1945 pertama kalinya Pancasila dicantumkan dalam UUD.

Sehingga waktu dan tempat sangat-sangat jelas sekali. Tapi kenyataan selama orde baru kita tidak memperingati hari kelahiran Pancasila setiap 1 Juni. Padahal jelas-jelas tanggal 1 Juni merupakan peringatan cikal bakal Pancasila dijadikan lambang negara.

Ironinya tiba-tiba bangsa ini dipaksa membentuk kesadaran sosial yang mengatasi tempat dan waktu, dan pula cenderung mengeramatkannya.

Part 1 : Pancasila Masih Ada?

Hari kelahiran sebagai cikal bakal Pancasila yang dijadikan lambang negara, sepanjang orde baru tidak dijumpai peringatan hari lahir Pancasila. Justru terjadi penggeseran momentum, tragedi G30S/PKI pada tanggal 30 september 1965, dijadikan sebagai hari kesaktian Pancasila atau hari Pancasila sakti.

Corak berpikir semacam inilah, akhirnya menimbulkan pemandangan Pancasila sebagai mitos daripada sebagai sejarah. Mengapa bisa seperti itu? Sebab sakti sebagaimana kita ketahui dalam sistem pengetahuan agraris mengandung unsur mistik.

Mistifikasi Pancasila menjadi tidak terelakkan, sebab Pancasila seakan-akan mahluk sakti mandraguna. Hingga dikesankan sebagai mahluk sekti mandraguna memiliki kehidupan sendiri, lepas dari momentum saat bangsa Indonesia melahirkan dan merumuskan.

Mengutip pendapat Kuntowijoyo dalam buku Identitas Politik Umat Islam, sepanjang bangsa ini berkebiasaan menganggap Pancasila sebagai mitos, maka hanya akan efektif secara politis, karena menjawab urusan lain (ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan) dipastikan berbuah kegagalan dan kegagalan.

Ciri utama pendekatan mitos, Pancasila secara sifatnya bakal mendahulukan pendekatan irasional, dan berkaitan dengan mengfungsikan kegunaan cenderung cara-cara konsensus.    

Harus diakui pendekatan mitos memang lebih efektif, hal ini dapat kita lihat saat-saat terjadi masa kritis seperti tahun 1965 dan 1998 sewaktu reformasi terjadi. Mengapa mitos tetap dipertahankan?

Sebab mitos bertumpu pada kepercayaan, kemudian mitos lebih mudah dilaksanakan para elit politik, mengingat kecenderungan makna subjektif relatif ditoleransi atau dianggap wajar.

Sisi lain manfaat pendekatan mitos yaitu bangsa ini berkali-kali membutuhkan keperluan konsensus nasional.

Dengan tujuan melalui konsensus nasional berguna untuk meredam perpecahan horizontal (antar daerah, antar agama, dan antar lembaga politik.

Dampak lain atau akibat sampingan pendekatan mitos terhadap Pancasila. Secara tidak sengaja, ternyata pendekatan semacam ini, menjadikan menguatnya konsensus vertikal antara atas dengan bawah, dan antara negara dengan rakyat.

Pendekatan ideologi  

Mengapa bangsa besar ini perlu melakukan pendekatan ideologi dalam mengamalkan Pancasila?

Masuk fase industrialisasi sebagaimana terjadi di daerah-daerah tingkat II atau kabupaten – kota. Berharap ingin mengembalikan Pancasila, tidak ada pilihan lain harus melakukan pendekatan ideologi.

Apabila sepakat mendudukan Pancasila sebagai paham ideologi, berarti kita harus menjadikan Pancasila rasional. Dengan demikian kita tidak perlu lagi mempersoalkan Pancasila dalam artian meragukan. Sebaliknya kita harus taken for granted (menerima begitu saja), namun dengan syarat harus efektif.

Implementasi Pancasila sebagai ideologi rasional perlu diimbangi pula dengan mengubah cara pemasyarakatannya. Misal, pendekatan mitos atau alam pikiran mistis yang selama ini kita gunakan dalam memasyarakatkan Pancasila harus secepatnya diganti dengan alam pikiran sejarah.

Celotehan berujung memunculkan tanda tanya “Pancasila masih ada?’ sebagaimana kekhawatiran komunitas simpul maiyah sendhon waton semoga tidak semakin berkepanjangan.

Pancasila sebagai ideologi agar lebih optimal mendorong masyarakat menemukan jati dirinya, beberapa konsep memasyarakatkan secara benar dapat dilaksanakan dengan dua (2) cara yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik.

Part 1 : Pancasila Masih Ada?

Pendekatan secara intrinsik (ke dalam), manusia Pancasilais harus mampu mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dengan konsisten, koheren, dan koresponden.

Sedangkan secara ektrinsik (ke luar) dengan kegunaan sebagai penyalur dan penyaring kepentingan. Pancasila harus memberi kemanfaatan horizontal dan vertikal.

Implementasi Pansila harus konsisten, misal: sila ke 1 (Ketuhanan Yang Maha Esa), amalan pemahaman harus mampu menghubungkan secara logis dengan pasal 29 tentang agama di UUD 1945. Sila ke 2 (Kemanusiaan yang adil dan beradab).

Nilai yang termaktub dalam sila ke 2, sebagai bangsa Indonesia kita harus mampu menghubungkan dengan makna kemerdekaan, sebagaimana tersebut dalam pembukaan UUD 1945.

Sebagai manusia Pancasila, kita harus merdeka dari keadaan miskin, manusia Indonesia harus memiliki kebebasan berserikat, berkumpul, dan bebas menyampaikan pendapat tanpa ada kekhawatiran terjadi pembungkaman.

Konsistensi Pancasila sila ke 3 (Persatuan Indonesia), pengelolaan negara harus berkaitan dengan Pasal 18 tentang pemerintahan daerah. Bagaimana kedepan agar terwujud harmonisasi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah berkaitan dengan kepentingan otonomi daerah.

Sila ke 4  tentang kerakyatan, harus dihubungkan dengan pasal 19, 20, 21, dan 22. Sedangkan sila ke 5 (keadilan sosial) harus dihubungkan dengan pengamalan pasal 33 dan pasal 34.

Pancasila harus koheren. Artinya pengamalan nilai-nilai Pancasila satu sila harus terkait dengan sila lainnya. Mengamalkan sila kemanusiaan tidak boleh melupakan keberadaan sila ketuhanan. Pengamalan sila persatuan Indonesia tidak boleh meninggalkan sila kemanusiaan dan seterusnya.

Bagaimana seandainya memilih salah satu saja? Sebagaimana pengalaman PKI meninggalkan salah satu sila Pancasila, sama dengan pengamalan inkoherensi. Memanipulasi sila ke lima dan meninggalkan sila ke 1 sama dengan komunis.

Koresponden Pancasila artinya manusia Pancasilais harus mampu mencocokkan atau mempertemukan antara praktik dengan teori atau mampu mewujudkan antara kenyataan dengan ideologi.

Contoh tindakan kongkret: manusia Pancasilais tidak boleh menjadi pembunuh, sebab pembunuhan itu tidak sesuai dengan kemanusiaan.

Sekedar catatan sejarah, masa tahu 1960 – 1965 korespodensi amalan Pancasila tidak ada. Pada kepemimpinan orde baru, ada tokoh politik berpendapat bahwa Pancasila adalah sekuler. Ini sangat tidak koresponden, kenyataannya percaya kepada Tuhan di rumah besar Indonesia adalah kenyataan.

Solusi  

Sebagai bangsa cerdas kita harus belajar dari pengalaman pengamalan Pancasila dan juga pemahaman. Supaya kita lebih menjadi arif dan tidak selalu menjadi tawanan rezim masa lalu. Dengan demikian seyogyanya, biarkan sejarah itu selalu terbuka dan berjalan dinamis.

Memposisikan Pancasila sebagai ideologi sekalian menjawab tema “Pancasila masih ada?” berarti bangsa ini perlu memiliki kemampuan mendudukan Pancasila sebagai penyalur dan penyaring berbagai kepentingan.

Adanya kasus dari pengamat barat menggambarkan tragedi 1965 menggambarkan politik rezim waktu sebagai sebuah kemunduran.

Kemunduran saat itu ditandai berlakunya stratifikasi atau pembagian masyarakat secara vertikal menurut kedudukan atas-bawah. Kemudian secara horizontal adanya pengelompokan berdasarkan keyakinan.

Adanya OPP yang tidak mewakili kelas tetapi nonkelas dianggap sebagai munculnya kembali aliran.

Part 1 : Pancasila Masih Ada?

Melihat demikian pekatnya keadaan bangsa, dalam era demokrasi yang diperlukan pengamalan Pancasila yang efektif agar terjadi tafsir politik yang rasional terhadap Pancasila dalam segi obyektif dan adil.

Supaya efektif Pancasila sebagaimana judul obrolan sendhon waton “Pancasila masih ada?” harusnya dibaca sebagai kalimat aktif dan tidak sebagai frase netral. Sehingga bacaan Ketuhanan Yang Maha Esa harus dibaca sebagai “Memahasekan Tuhan”.

Bacaan kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai “memanusiakan manusia” dan seterusnya. Semoga manfaat salam Pancasila masih ada?

Penulis adalah anggota Simpul Maiyah Sendhon Waton Kabupaten Rembang