Opini  

Seni Ketoprak : Alternatif Baru untuk Penciptaan Film

Wangsit Winursito, Opini – Indonesia, sebagai negara yang membanggakan keragaman kulturalnya, menunjukkan kekayaan budaya yang berkembang di tiap daerahnya.

Kebudayaan ini bukan semata sebagai warisan leluhur, melainkan identitas nasional yang memerlukan perlindungan dan pelestarian yang cermat.

Salah satunya adalah Kesenian Ketoprak. Kesenian Ketoprak, Bermula dari para petani yang menabuh lesung secara ber irama pada saat bulan Purnama.

Seiring berjalannya waktu tabuhan lesung yang berirama dibarengi dengan Instrumen pendukung: Gendang, suling, nyanyian, dan di sertai cerita rakyat. (Achmad, 2006).

Ketoprak menjadi kesenian yang paling di gemari masyarkat Pantura sehingga kelestarian kesenian ketoprak masih terjaga.

Terbukti dengan banyaknya masyarakat desa yang sampai saat ini jika memiliki hajad seperti khitanan, pernikahan sampai acara tradisi: Sedekah Bumi dan Sedekah Laut dengan mengadakan pementasan ketoprak dengan mendatangkan grub – grub ketoprak pilihan masing masing.

Dalam setiap cerita pentas ketoprak, selalu mengandung amanat dan nilai-nilai luhur. Sehingga sangat penting untuk menjaga pemahaman terhadap kesenian ketoprak.

Sangat menarik jika Ketroprak menjadi refrensi penciptaan film.

Suryanto (2021) mengatakan bahwa Diplomasi budaya yang sangat efektif  dapat melalui media film. Film dan Ketoprak memiliki kesamaan yaitu sebuah narasi melalui media audio visual.

Dua hal yang dapat digali sebagai sumber refrensi dalam ketoprak adalah dibalik layar dan struktur penunjang pementasan ketoprak itu sendiri.

Ketoprak Kridho Mudho, Cerita Kebo Marcuet
(Sumber: Wangsit, 2024).

Di balik layar ketoprak

Proses di balik layar ketoprak sangat menarik jika diangkat menjadi sumber refrensi penciptaan film. Karena proses kreatif sebelum pementasan ketoprak sangat berbeda dengan cara pre-production dalam film. Berikut tahapan prosesnya:

  1. Sutradara koordinasi dengan pihak penyelenggara terkait cerita yang akan dibawakan;
  2. Sutradara menulis nama tokoh dalam cerita dan menyesuaikan karakter dan postur kepada pemain anggota ketoprak;
  3. Sutradara memberi arahan kepada tim gedongan (wardrobe), tim dekor (property), dan tim yang mengelola kelir (background);
  4. Sutradara memberi arahan kepada pemain terkait karakter yang akan diperankan, garis besar cerita dan kostum yang akan dikenakan.

Proses tersebut terjadi begitu singkat, karena cerita yang akan dipentaskan berdasarkan permintaan penyelenggara acara. Koordinasi antara sutradara dan penyelenggara acara biasanya terjadi 2 jam sebelum pementasan terjadi tetapi tidak jarang juga penyelenggara menentukan cerita sudah jauh hari sebelum pementasan.

Sutradara dituntut memiliki literasi yang tinggi tentang perbendaharaan cerita dan harus benar benar menguasai semua cerita tersebut.

Sutradara dalam pementasan ketoprak juga bertugas menjaga alur cerita dapat tersampaikan dengan baik dalam pertunjukan. Sutradara bisa mengubah struktur adegan bahkan saat pertunjukan tengah dimulai.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan sutradara mengubah struktur adegan saat pentas tengah di mulai, di antaranya

  1. Durasi : Cerita yang di bawakan terlalu Panjang sehingga melebihi durasi pentas, atau sebaliknya;
  2. Situasi yang tak terduga : hujan, kecelakaan dalam pementasan, kericuhan. Juga menjadi tantangan sutradara agar pementasan tetap berjalan lancar.

Setiap pemain ketoprak juga dituntut memiliki perbendaharaan kalimat, tembang, dan cerita yang banyak. Karena pemain hanya mendapatkan garis besar tentang cerita yang akan dipentaskan dari sutradara.

Tugas pemain mengolah dan mengadegankan garis besar tersebut dengan cara improve, sehingga dialog yang terjadi di atas pangung benar benar spontan tetapi masih memiliki batasan.

Pemain juga bertanggung jawab menjaga agar penonton tidak bosan terhadap pertunjukan yang sedang berlangsung. Pemain juga dapat berinteraksi dengan penonton karena tak jarang penonton menceletuk merespon pertunjukan, maka kemampuan improve sangat dibutuhkan.

Dalam pentas ketoprak, jika pemain melakukan kesalahan: penyebutan nama dan tempat, fals ketika nembang. Tidak terjadi pengulangan layaknya film yang bisa di-cut dan mengulangi hingga mendapatkan hasil yang maksimal.

Tetapi para pemain ketoprak jika di atas panggung akan saling mengingatkan sebagai bentuk profesionalisme dalam bekerja.

Struktur Penunjang Pementasan Ketoprak

Cerita

Cerita yang di pentaskan dalam ketorprak, diambil dari sejarah dan cerita rakyat. Cerita yang dipentaskan adalah cerita pesanan dari pihak penyelenggara, dan tidak jarang cerita ketoprak sebagai bentuk harapan dari penyelenggara.

Berikut penjelasan rinci mengenai cerita ketoprak dipengaruhi berdasarkan acara pentas dan cerita yang dibawakan.

  1. Perorangan
  2. Pernikahan : Cerita Panji Asmoro Bangun, memiliki harapan bahwa pengantin memiliki hubungan langgeng seperti Dewi Sekar Taji dan Asmoro Bangun.
  3. Sunatan / Khitan : Damar Wulan Ngratu, memiliki harapan bawah anak yang disunat memiliki watak jujur, pantang menyerah, dan menjadi orang yang Penuh keberhasilan seperti Damar Wulan
  4. Nazar / uni : Sesuai apa yang di nazarkan orang yang menyelenggarakan.
  5. Kelompok
  6. Sedekah Bumi dan Sedekah laut Sedekah Bumi dan sedekah laut adalah tradisi masyarakat pantura yang di adakan setahun sekali, sebagai bentuk syukur karena hasil bumi dan laut melimpah.

Cerita yang diangkat : Joko Tani, memiliki harapa bahwa hasil bumi dan hasil laut dapat melimpah, seperti dalam cerita yang di ceritakan desa tersebut mendapat hasil bumi dan laut yang melimpah.

Dekorasi

Ciri khas ketoprak pantura adalah menggunakan kelir. Kelir adalah lukisan di kain yang digunakan untuk menggambarkan latar dalam cerita. Jika adegan yang dipentaskan berlatar hutan, maka kelir yang digunakan adalah kelir hutan.

Penggunaan kelir ini bertujuan untuk mempermudah penonton memahami latar adegan yang sedang berlangsung. Kelir yang di gunakan meliputi:

  1. Mega : Berlukiskan pemandangan laut dan awan.
  2. Kelir alas : Berlukiskan pohon pohon dan sawah, untuk menggambarkan hutan.
  3. Alas bolong : sama dengan kelir alas, tetapi memiliki lubang yang potongannya membentuk pohon.
  4. Kraton : Berlukiskan suasana di dalam kerajaan
  5. Kraton bolong : sama dengan kelir kraton, tetapi di tengah memiliki lubang membentuk pintu.
  6. Omah desa : Berlukiskan keadaan rumah di pedesaan.
  7. Taman : Berlukiskan taman yang berada di dalam istana.

Iringan

Iringan atau musik dalam ketoprak, menggunakan gamelan. Gamelan diatur oleh kenthongan, sebagai penanda mulainya gamelan di mainkan dan berhenti.

Kenthongan sebagai alat komunikasi antara panggung pertunjukan dan penabuh gamelan. Kenthongan terbuat dari bambu, dan memiliki peran yang sangat penting dalam kesuksesan pementasan.

Penabuh kenthongan berada di dalam area panggung pementasan, sehingga ia dapat memberi tanda penabuh gamelan untuk memulai menabuh gemelan jika pemain dalam panggung sudah siap

Gamelan yang di gunakan meliputi, Kendang Ciblon, Kendang Bem, Bonang Barung, Bonang Penerus, 3 Saron, 2 Demung, 1 Saron penerus, Slenthem, Rebab, Siter, Kenong, Kempul, Kethuk, Kendang Jaipong, Gender, Gambang, dan Suling. Juga menggunakan alat musik moderen: keyboard, Bass, Drum.

Pakaian

Pakaian yang dikenakan para pemain ketoprak, menyesuaikan cerita yang dipentaskan. Pakaian disesuaikan dengan kondisi saat itu, dan perkembangan pakaian saat itu. Sehingga sesuai dengan cerita yang dibawakan. Dan mempermudah penonton terbawa suasana pementasan.

Simpulan

Banyak yang bisa diambil sebagai bahan penciptaan film. Mengingat kurangnya film yang mengangkat budaya lokal, salah satunya adalah proses kreatif di balik layar ketoprak bisa menjadi refrensi pembuatan film eksperimental. Dan masih banyak lagi yang bisa dikembangkan dan dikemas.

 

Daftar pustaka

Achmad, A. K. (2006). Mengenal teater tradisional di Indonesia. Indonesia: Dewan

Kesenian Jakarta.

Suryanto, H. (2021). Film Menggunakan Kearifan Lokal Sebagai Sumber Inspirasi

Penciptaan (satu cara menuju film beridentitas Indonesia). IMAJI: Film, Fotografi,

Televisi, & Media Baru, 12(3), 112-123.

 

Disusun guna memenuhi Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Apresiasi Seni

Program Studi Film dan Televisi Fakultas Seni Rupa dan Desain 
INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA